Pendahuluan
Dalam membicarakan Hukum Islam di tengah-tengah Hukum
Nasional pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan Hukum Islam
dalam sistem Hukum Nasional. Sistem Hukum Indonesia, sebagai akibat
dari perkembangan sejarahnya bersifat majemuk. Disebut demikian karena
sampai sekarang di negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem
hukum yang mempunyai corak dan susunan sendiri. Sistem hukum itu
adalah sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.
Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke tujuh Masehi tata hukum
Islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan
masyarakat dan peradilan Islam. Hamka mengajukan fakta berbagai karya
ahli Hukum Islam Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat alMustaqim,
Sabil al-Muhtadin, Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain.1
Akan tetapi semua karya tulis tersebut masih bercorak pembahasan fiqih,
masih bersifat doktrin hukum dan sistem fiqih Indonesia yang berorientasi
kepada ajaran Imam Mazhab.
Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam peradilan
agama sudah hadir secara formal. Ada yang bernama peradilan penghulu
seperti di Jawa. Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera.
Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun sangat
disayangkan, walaupun pada masa Kesultanan telah berdiri secara formal
peradilan Agama serta status ulama memegang peranan sebagai penasehat
dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang
sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang ditarik dari
kandungan doktrin fiqih.
Baru pada tahun 1760 VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk
menyusun hukum yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Compendium ini dijadikan rujukan hukum dalam menyelesaikan sengketa
yang terjadi dikalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC.2
Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama. Pada tahun
1800 VOC menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Bersamaan dengan itu lenyap dan tenggelam compendium itu. Lahirlah
politik hukum baru, yang didasarkan atas teori resepsi atau teori konflik
Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven. Sejak itu secara sistematik,
dengan senjaga hukum Islam dipencilkan. Sebagai gantinya digunakan
dan ditampilkan hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba
melaksanakan hanya dua sistem hukum yang berlaku, yaitu hukum adat
untuk golongan Bumiputera dan hukum barat bagi golongan Eropa.
Upaya paksaan untuk melenyapkan peran hukum Islam, terakhir
ditetapkan dalam Staatsblad 1937 Nomor 116. Aturan ini merupakan hasil
usaha komisi Ter Haar, yang di dalamnya memuat rekomendasi: (1)
Hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat.
(2) Mencabut wewenang Peradilan Agama (Raad Agama) untuk mengadili
perkara kewarisan, dan wewenang ini dialihkan kepada Landraad. (3)
Pengadilan Agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad. (4)
Putusan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir
verklaring dari ketua Landraad.
Baca selengkapnya klik disini
Anda butuh bantuan pembuatan Skripsi? Tesis? Disertasi? (Semua Jurusan)
Atau Tugas Perkuliahan yang lain? Hubungi 085729587732
No comments:
Post a Comment