Contoh Jurnal Psikologi


Pengantar Keadilan menjadi syarat mutlak dalam hubungan antar manusia, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Besarnya tuntutan akan keadilan yang akhirakhir ini mengemuka sebenarnya merupakan tuntutan normatif. Tuntutan tersebut muncul pada semua tingkatan kehidupan sosial. Apakah ini indikasi bahwa sekarang tidak ada keadilan? Bila memang demikian keadaannya, mengapa selama ini kita bisa bertahan? Menurut hemat penulis, masalah yang sesungguhnya bukan ada tidaknya keadilan tetapi lebih dikarenakan formulasi keadilan. Mengapa? Keadilan dapat dilihat dari berbagai sudut. Pada tingkatan moral, keadilan menjadi nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh segenap lapisan masyarakat. Pada tingkat operasional di dalam masyarakat masalahnya menjadi sangat kompleks dan sulit serta sering tidak mudah diterima oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada tingkat individu, keadilan juga sulit diformulasikan. Makin sulit menemukan orang yang benar-benar memegang keadilan sebagai nilai kehidupan dan moralitas yang dijunjung tinggi. Begitu banyak orang kaya di Indonesia tetapi sangat sedikit yang bersikap seperti Bill Gates, keluarga Ford, keluarga Rockefeller, dan lainnya yang rela memberikan sebagian kekayaannya untuk orang lain melalui program beasiswa, riset, dan pembangunan sosial lainnya. Bukan dalam arti besarnya uang yang dimaksudkan di sini, tetapi dalam arti kemauan dan tindakan yang tulus

Konsep Keadilan Beberapa ahli (Miceli dkk., 1991; Minton dkk., 1994) mengemukakan bahwa keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan, yaitu outcome, prosedur, dan sistem. Di sini penilaian keadilan tidak hanya tergantung pada besar kecilnya sesuatu yang didapat (outcome), tetapi juga pada cara menentukannya dan sistem atau kebijakan di balik itu. Keadilan yang berkaitan dengan outcome sering disebut sebagai keadilan distributif, namun sesungguhnya kedua hal tersebut tidak sama. Kajian psikologi tentang keadilan pemberian upah hampir selalu memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif. Bila dicermati, pemberian upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi dan pertukaran (Surbakti, 1993). Karenanya, para ahli ekonomi menilainya sebagai keadilan pertukaran (komutatif). Bahkan, ekonom terkenal Adam Smith (lihat Keraf, 1995, 1996) menyatakan bahwa hakikat keadilan adalah keadilan komutatif. Antara keadilan distributif dan keadilan komutatif terdapat perbedaan dan persamaan. Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan penerima. Sementara itu dalam proses pertukaran kedua pihak seharusnya berada pada posisi yang sama. Ditinjau dari sudut pertukaran, pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama memiliki barang atau jasa dan pihak lain memiliki uang. Persamaan prinsip keadilan distributif dengan keadilan komutatif akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila masukan (input) keduanya setara. Permasalahannya, bila masukan kedua pihak berbeda sangat jauh, kesetaraan antara kedua pihak itu juga akan sulit tercapai. Meskipun demikian perbedaan yang besar itu masih dapat dilihat persamaan prinsipnya bila pada keadilan komutatif menekankan aturan no harm dan no intervention (Keraf, 1995, 1996). Artinya, pertukaran akan mirip distribusi karena pihak yang kuat (input besar) tidak berusaha mempengaruhi, merusak, maupun mencaplok pihak yang lemah.  

Baca selengkapnya klik disini

Anda butuh bantuan pembuatan Skripsi? Tesis? Disertasi? (Semua Jurusan)
Atau Tugas Perkuliahan yang lain? Hubungi 085729587732

No comments:

Post a Comment