Pasca reformasi gairah perpolitikan di Indonesia mulai berkembang lagi, partai politik yang
dulu tidak berdaya ketika berhadapan dengan penguasa mulai saat itu mulai menampakkan
kekuatanya sebagai pengontrol jalannya kekuasaan. Sebenarnya gairah seperti ini pernah muncul
diawal kemerdekaan sebagai buah dari revolusi panjang sebuah negara dalam melawan
penindasan kolonial. Euforia kebebasan politik waktu itu sangat tergambarkan oleh muncul
banyak sekali partai politik dengan segala identitasnya. Banyak kalangan yang menilai bahwa
pemilu pertama merupakan pemilu yang paling demokratis, dengan banyaknya peserta pemilu
dan asas jurdil yang relatif bisa dipertanggung jawabkan karena penguasaa belum mempunyai
kekuasaan dalam mempengaruhi jalannya pesta demokrasi dan hal seperti ini yang pada saat
sekarang menjadi persoalan tersendiri dimana penguasa masih dapat mempengaruhi proses
pemilu, baik melalui mobilisasi pemilih untuk memilih partai penguasa, politik uang, permainan
data pemilih dan juga permainan dari penyelenggara pemilu sendiri dalam memenangkan
kandidat (Pemilu Legislatif) tertentu. Saat pemilu pertama pada tahun 1955 diikuti oleh 172 partai
politik, hal ini menunjukan bagaimana eforia kebebasan berpolitik benar-benar terjadi setelah
lamanya terbelenggu oleh penjajahan.
Dibawah Orde Baru partai politik hanya dijadikan legitimasi penguasa saat itu untuk
memperlihatkan pada dunia internasional bahwa Indonesia taat dalam menjalankan asas
demokrasi, dimana partai politik merupakan salah satu pilar atau penanda bahwa demokrasi itu
ada di negara tersebut. Partai tidak berdaya ketika berhadapan dengan penguasa, partai politik tidak bisa memainkan perannya sebagai alat kontrol bagi penguasa, partai politik tidak bisa
menjadi alternatif bagi masyarakat yang menginginkan perubahan. Bahkan adanya yang
menyebutkan bahwa partai saat itu (nonGolkar) seperti PPP diartikan sebagai partai pelengkap
pembangunan, sedangkan PDI dikatakan sebagai partai damai itu indah. Pandangan itu sangat
wajar ketika parti tersebut tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mempengaruhi kebijakankebijakan
penguasaa saat itu. Bagaimana tidak, penguasa mampu mengendalikan partai-partai
tersebut dengan mempengaruhi pemenangan elit partai yang akomodatif terhadap pemerintah
untuk menjadi ketua umum partai.
Kasus Partai Demokrasi Indonesia merupakan contoh yang paling jelas.
Dalam tubuh partai
tersebut berulangkali terjadi konflik, dan konflik itu merupakan rekayasa dari pemerintah melalui
aparatnya untuk melemahkan partai dan mencari pengurus yang akomodatif terhadap Soeharto.
Berulangkali konflik internal terjadi, sejak masa kepemimpinan Sanusi Hardjadinata, yang
kemudian berlanjut dalam kepemimpinan Hardjanto, sampai kepengurusan Suryadi (Syaukani
et. All, 2002: 134).
Selepas lengsernya kekuasaan Orde partai politik menemukan nafasnya lagi dalam kehidupan
politik. Ruang yang begitu luas diberikan melalui undang-undang untuk membuat partai politik
dan kondisi semacam yang terjadi diawal kemerdekaan dengan munculnya banyak sekali partai
politik waktu itu dengan 171 partai politik peserta pemilu. Dengan banyaknya partai politik hal ini
menandakan bahwa partisipasi masyarakat untuk berpolitik tinggi. Dengan tidak diberlakukannya
asas tunggal pancasila sebagai ideologi maka hal memberikan ruang yang cukup bebas bagi
masyarakat membuat partai yang berbeda. Ideologi merupakan hal yang terbuka bagi setiap
individu, setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda tentang suatu hal, setiap orang
mempunyai impian tentang masyarakat yang ideal.
Baca Selengkapnya Klik Disini
Anda Butuh Bantuan Pembuatan Skripsi?Tesis?Disertasi? (Semua Jurusan?) atau Tugas Perkuliahan yang lain? Hub: 085729587732
No comments:
Post a Comment