1. Pendahuluan
Tema nasionalisme khususnya, demokrasi dan masyarakat madani
(civil society) menjadi maskot pembicaraan di harian Kompas dalam
rangka memperingati 100 tahun. Kebangkitan Nasional pada tahun
2008. Hampir satu minggu penuh sejak tanggal 18 Mei hingga 26 Mei
2008, harian Kompas tidak jemu-jemunya membahas berbagai seminar
tentang nasionalisme, demokrasi dan civil society Indonesia dewasa ini.
Lepas dari segala kekurangan dalam implementasinya, nasionalisme
dan demokrasi Indonesia dalam mewujudkan cita-cita para Bapak
Bangsa yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil makmur
dalam kebhinnekaan Indonesia, tetaplah dibutuhkan. Sosiolog
kenamaan Emile Durkheim bahkan berhipotesa bahwa nasionalisme dapat menjadi ”agama baru” dalam masyarakat modern, karena mampu
menjadi integrator masyarakat majemuk tatkala hubungan-hubungan
sosial semakin terasa longgar dan sangat berbau materialis (Kompas, 3 April 1996, hal. 4-
5) .
Sejarawan Taufik Abdullah dalam sebuah seminar (Kompas, 18 Agustus 2007, hal. 33)
berkomentar bahwa nasionalisme yang berintikan patriotisme itu, memang
perwujudannya mengalami dialektika yang dinamis di mana tiap generasi mempunyai
tantangan (challenge) dan jawaban (response) yang berbeda, namun esensi nasionalisme
tetaplah sama yaitu rasa cinta yang dalam terhadap bangsa dan tanah airnya.
Nasionalisme itu menjadi daya dorong atau e’lan vital bangsa dalam memperjuangkan
cita-cita bersama.
Ernest Gellner (Kompas, 21 Mei 2008) dalam bukunya Nations and Nationalism (1983)
antara lain menulis bahwa ” nasionalisme melahirkan bangsa, sementara demokrasi
melahirkan negara dan pemerintahan”, maka nasionalisme bersama demokrasi
melahirkan negara bangsa (nation state) . Namun demokrasi bukan hanya sebagai alat
tetapi sekaligus merupakan tujuan dari negara bangsa itu sendiri, yaitu mewujudkan
masyarakat adil makmur material – spiritual bagi seluruh warga bangsa.
Memperhatikan hal-hal di atas, tidak mengherankan jika perdebatan tentang peran
nasionalisme, demokrasi, masyarakat madani dalam kerangka negara bangsa (nation
state), semakin sengit sejalan dengan keruntuhan negara-negara komunis di Eropa
Timur yang berakibat tampilnya ideologi kapitalisme - liberal sebagai satu-satunya
ideologi dunia yang dominan. Dalam pandangan Daniel Bell (The end of ideology on the
exhaustion of political ideas in the fifties, 2000) bukan saja ideologi komunis-sosialis yang
gulung tikar, maka ideologi lainnya juga akan digusur oleh ideologi kapitalisme-liberal.
Pandangan Daniel Bell memang dapat menciutkan nyali kaum nasionalis yang masih
yakin bahwa nasionalisme masih amat penting dalam kehidupan bernegara di masa
modern ini.
Gambaran optimisme manusia tentang peranan ideologi seperti nasionalisme dan
demokrasi, memang tidaklah sebesar awal pemunculannya. Tidak saja Daniel Bell yang
pesimis, Francis Fukuyama dalam bukunya The end of history and the last man (1992)
menggambarkan ideologi demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah, akhir dari semua
ideologi setelah mengalahkan sosialisme-komunisme (1990) . Sekarang tidak ada
pilihan lain kecuali menerima demokrasi liberal. Namun manusia (the last man) akan
menjadi lembek, sebab tidak ada tantangan lagi, manusia sudah serba kelimpahan
materi dan terjamin keamanan fisiknya. Dengan kata lain ideologi demokrasi liberal
pun akhirnya akan runtuh. Tesis Fukuyama tersebut nampaknya membenarkan tesis
sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1956, vol. VI : 280 dan lain-lain) yang mengatakan
bahwa suatu bangsa hanya akan maju jika dapat menghadapi tantangan (challenge)
dengan jawaban (response) yang tepat. Jadi adanya tantangan hidup justru merupakan
stimulus bagi suatu bangsa untuk maju asal saja dapat menemukan solusi atau jawaban
yang tepat. Maka tantangan tidak perlu dihindari atau ditakuti, meskipun tidak harus
dicari, melainkan harus dihadapi secara cerdas dan bijak.
Baca Selengkapnya Klik Disini
Anda Butuh Bantuan Pembuatan Skripsi?Tesis?Disertasi? (Semua Jurusan?) atau Tugas Perkuliahan yang lain? Hub: 085729587732
No comments:
Post a Comment